21 June, 2010

2 Orang Sahabat

Alkisah ada dua sahabat sejati yang ditakdirkan untuk terus berjalan berdampingan di muka bumi ini. Dua sahabat itu selalu berjalan beriringan kemanapun mereka pergi. Sikap saling tolong menolong pun tidak pernah mereka lewatkan. Disaat sahabat yang pertama mengalami kesulitan, maka sahabat yang kedua pun segera datang untuk menolong. Begitu pun juga sebaliknya. Sejak berabad-abad mereka diciptakan, mereka selalu terlihat bersama dan hubungan mereka berdua semakin lama semakin dekat dan tak terpisahkan. Yang lebih menakjubkan, atas eratnya hubungan mereka berdua itulah efeknya bisa dirasakan oleh semua manusia.


Suatu hari sahabat kedua jatuh sakit. Sakit yang dideritanya ternyata sudah cukup lama menjangkiti sang sahabat kedua. Sahabat pertama pun sebenarnya pernah dijangkiti penyakit yang sama, tapi untungnya penyakitnya cepat dapat disembuhkan berkat banyaknya bantuan dari teman-temannya yang lain. Sahabat pertama bisa merasakan kepedihan dan kenyerian yang dialami oleh sahabat kedua. Kesedihannya bertambah ketika menyadari bahwa ternyata penyakit ini yang bisa menghilangkannya hanya sedikit dimuka bumi. Bahayanya lagi, penyakit yang disebabkan oleh virus itu sangat-sangat menular bagi yang tidak mempunyai perlindungan khusus terhadapnya. Penyakit itu disebabkan oleh virus yang bernama "orientalist".


Sahabat pertama bernama al Quran dan yang kedua bernama as Sunnah....
********


Begitulah kira-kira analogi kisah dari al Qur'an dan as Sunnah atau yang biasa disebut hadits, dua sahabat yang tak terpisahkan. Ketika seseorang akan membuat tafsir al Qur'an maka salah satu cara yang diperlukan adalah melakukan tafsir menggunakan hadits yang shahih. Didalam buku Ushul fi al-Tafsir yang ditulis oleh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin, beliau menempatkan cara membuat tafsir al Qur'an dengan hadits di peringkat kedua setelah membuat tafsir al Qur'an dengan menggunakan al Qur'an. Begitu pun ketika akan mentafsirkan suatu hadits, maka yang pertama dilihat adalah bahwa hadits tersebut tidak bertentangan dengan yang ada di al Qur'an. Inilah yang disebut, dua sahabat yang tak pernah melewatkan untuk saling tolong menolong.


Ketika al Quran diragukan kebenarannya, maka para hafiz Qur'an (penghafal al Qur'an) pun unjuk gigi bahwa al Qur'an tidak ada perbedaan satu titik pun didalamnya. Ketika semua al Qur'an dimuka bumi ini dikumpulkan maka yang nampak tidak lain hanyalah kesamaan huruf antara mushaf yang satu dengan yang lainnya didalam setiap ayatnya. Maka al Qur'an pun selamat dari keragu-raguan. Surat Al Baqarah ayat kedua semakin mengokohkan pernyataan ini. "Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa".


Kedekatan dua hal tersebut tentunya akan berdampak positif bagi umat Islam dan umat manusia pada umumnya. Ini adalah janji Rasulullah saw dengan sabdanya, "Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, yang jika kamu berpegang teguh pada kedua-duanya maka kamu tidak akan sesat, yaitu al-Quran dan as-Sunnah" [HR. Ahmad, lbnu Majah]

Penyakit yang dimaksud adalah orientalis atau para pemikir barat yang tak henti-hentinya berusaha menyerang kedua pegangan umat Islam itu. Telah sejak lama penyakit yang bernama orientalism ini menghampiri al Quran dan as Sunnah. Orientalis ini adalah sekelompok orang-orang yang melakukan penelitian sedemikian rupa terhadap al Quran dan Hadits untuk menimbulkan keragu-raguan terhadap kedua hal tersebut dan menyebarkan pemikirannya ke umat Islam. Tokoh dibalik para orientalis ini cukup banyak yang diantaranya adalah Ignaz Goldziher dan Aloys Sprenger yang sangat bersemangat untuk membuktikan bahwa hadits itu bukanlah perkataan Nabi Muhammad saw, tapi merupakan bikinan para ulama di awal abad kedua hijriah.

Goldziher dan Usahanya

Goldziher menurunkan satu pasal khusus tentang penulisan hadits-hadits dalam pembahasannya Muhammedanische Studien dan jilid keduanya diterjemahkan kedalam bahasa Perancis oleh Leon Bercher tahun 1952 dengan judul Etudes sur la Tradition Islamique, Maisonneuve, Paris. Didalam pasal ini ia mengemukakan banyak dalil yang menyatakan bahwa pencatatan hadits dilakukan pada awal abad kedua hijriah. Begitu pun dengan Aloys Sprenger dalam bukunya, Das Traditionswesen beiden Arabern (Hadits Menurut Orang Arab).

Goldziher berpendapat bahwa hadits tidaklah berasal dari Rasulullah, melainkan sesuatu yang berasal dari abad pertama dan kedua Hijriyah. Artinya Goldziher berpendapat bahwa hadits adalah buatan ulama abad l dan abad ll H. Ia berkata, ”Bagian terbesar dari suatu hadits tidak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad l dan ll, baik dalam bidang keagamaan, politik, maupun sosial.Tidaklah benar bahwa hadits merupakan dokumen Islam yang ada pada masa dini, melainkan pengaruh dari perkembangan Islam pada masa kematangan."
Tujuan kaum orientalis ini bukan semata-mata demi ilmu dan penelitian belaka, bahkan sebagian mereka cenderung tidak mengakui sebagian sunnah. Seperti layaknya penyakit menular, maka gambaran pemikir orientalism ini sama saja. Buah pemikiran ini pun ada di Indonesia dan bisa dilihat dari pemikiran-pemikiran kaum liberal yang dengan serta merta berani melakukan kritik dan meragukan matan (isi redaksi) hadits yang telah jelas-jelas di teliti oleh yang jauh lebih ahli dibandingkan mereka seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Hadits = Perkataan Setan ?

Ingkar Sunnah pun kurang lebih sama. Sama-sama tidak mengakui as Sunnah (hadits) sebagai bagian dari fondasi Islam. Sebagian mereka bahkan berpendapat bahwa hadits adalah perkataan setan. Lalu bagaimana mungkin mereka yang tidak mempercayai hadits itu tetap melakukan sholat lima waktu. Inilah yang terjadi ketika ustadz Fauzi (ustadz saya) berdialog dengan seseorang yang menolak hadits dan hanya percaya al Quran. Ketika waktu maghrib tiba, maka semua yang hadir disitu melakukan sholat berjamaah tak terkecuali dia yang menolak hadits itu. Ini kan aneh, bagaimana dia bisa mengetahui tentang tatacara sholat lima waktu kalau tidak dari hadits. Bahkan apabila seumur hidupnya dihabiskan untuk mencari tatacara itu di al Quran pun tidak akan ketemu.

Perjalanan Mencari Hadits

Kalau kita membaca sejarah tentang perjalanan para perawi atau penyampai hadits dalam mengumpulkan hadits Rasulullah saw, maka terlihatlah sebesar apa kesetian mereka untuk melestarikan hadits nabi saw. Perjalanan mencari hadits itu berbeda-beda sesuai dengan pelaku, tempat tujuan dan waktunya. Ada yang menempuh jarak beratus kilometer hanya dengan jalan kaki seperti Abdullah bin Abdul Ghani (269 H).

Ada yang melakukan pencarian hadits semenjak berusia 15 dan 20 tahun seperti Abu Ya'la al-Mushili yang wafat pada tahun 307 H, dan juga dilakukan oleh Muhammad bin Ali yang digelari Abu at-Tursi yang wafat tahun 510 H. Bahkan ada yang melakukan perjalanan berpuluh-puluh tahun terus menerus hanya untuk mencari hadits. Orang yang melakukan perjalanan seperti ini misalnya Muhammad al-Ashbahani, penghafal hadits dan guru besar Islam yang sangat alim. Mereka inilah yang kadang disebut pengembara pencari hadits.

Jelas bahwa pencarian hadits ini tidak dilakukan secara serampangan. Bahkan orientalis Goldziher, betapapun ingkarnya ia terhadap pemberitaan kaum muslimin, masih terpaksa membenarkan bahwa pengakuan para pengembara pencari hadits itu tidak mengada-ada dan berlebih-lebihan. [Etudes sur la Tradition Islamique, hal.220]

Cabang Ilmu Hadits

Dalam men-tahrij atau meneliti dan mengkritik suatu hadits maka cabang-cabang dalam ilmu hadits pun harus dikuasai, seperti ilmu Al jahr wa ta'dil, ilmu Mukhtalaf al-Hadits, ilmu Ilalul-Hadits, ilmu Gharibul-Hadits, ilmu Nasikh Mansukh Hadits dan banyak lagi.

Tidak aneh jika Hazim al-Hamdzani, seorang pakar dalam bidang hadits yang wafat di Baghdad tahun 594, mengatakan, "Ilmu Hadits mencakup banyak jenis yang jumlahnya ratusan, masing-masing jenis merupakan ilmu tersendiri. Sekalipun seseorang menghabiskan umurnya untuk menuntut ilmu-ilmu tersebut, dia tidak akan mencapai batas akhirnya". [Al-Tadrib 9]

Maka bagaimana mungkin seseorang melakukan tahrij hadits hanya berdasarkan akal tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut. Bagaimana mungkin pula seorang muslim mengedepankan akal dalam menjalankan agamanya. Lihatlah apa yang dikatakan Umar bin Khaththab RA tatkala mencium Hajar Aswad : "Sesungguhnya aku tahu engkau hanya sekedar batu yang tidak bisa memberi madharat dan manfaat. Kalau tidak karena kulihat Rasulullah menciummu, tentu aku tidak akan menciummu." [HR. Bukhari dan Muslim, Mukhtashar Shahih Bukhari no. 795]. Apa yang dilakukan Umar RA itu hanyalah karena ingin mengikuti apa yang Rasulullah saw lakukan dan bukan karena batu itu akan memberi manfaat baginya. Ini menunjukan bahwa wahyu dan sunnah lah yang membimbing akal dan bukan sebaliknya.

Pembela as Sunnah

Goldziher dan orientalis lainnya, memang belajar hadits bukan untuk mencari kebenaran. Mereka mencari bukti bahwa apa yang dinamakan hadits tak ada kaitannya dengan Rasulullah. Ketika bukti itu -memang- tak ditemukan maka mereka membuat-buat alasan palsu untuk mendukungnya.

Para ulama tidak tinggal diam, salah satunya adalah Prof.Dr. Muhammad Musthafa al Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Sa’ud Riyadh KSA) dengan bukunya Studies In Early Hadith Literature dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Beliau juga menulis buku The History of The Qur'anic Text (Sejarah Teks Alquran dari Wahyu sampai Kompilasi), 2003. Dan beliau juga menulis buku Studies in Hadith Methodology and Literature, 1977.

Dr. Subhi as-Shalih, menulis satu kitab yang diberi judul Ulum al-Hadits wa Musthalahu yang diselesaikan pada tahun 1977 dan dicetak kedalam bahasa Indonesia dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, cetakan Pustaka Firdaus Oktober 2002. Pembahasan dalam kitab ini cukup lengkap dan membahas dari segi keilmuan beserta pandangan-pandangan tentang kaum orientalis dan juga dijelaskan letak kejanggalannya. Insya Allah, dari orang-orang seperti merekalah virus orientalis bisa dilawan.

Ketika "mereka" tidak lagi menggunakan senjata bom, rudal, nuklir dan berbagai macam kekerasan untuk meredupkan cahaya Islam, maka ketahuilah, sekarang mereka telah mengganti senjatanya dengan Ghazwul Fikr atau Perang Pemikiran, suatu senjata yang sangat ampuh bahkan lebih ampuh dibandingkan rudal, bom dan senjata lainnya untuk meruntuhkan iman dan aqidah bagi yang tidak mempunyai persiapan dalam bidang ilmu keislaman seperti ilmu hadits dan sebagainya. Sudah siapkah kita melawan atau minimal bertahan ?....

Petikan dari blog Indonesia

No comments:

Post a Comment